Oleh : Jaja
Hakikat Pembangunan adalah membangun masyarakat atau bangsa secara menyeluruh, demi mencapai kesejahteraan rakyat seperti perubahan sistem sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya 1
Portes (1976) mendefenisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Sementera itu, teori pembangunan mainstream ala negara maju selalu mengemukakan pembangunan adalah transfer manusia dan aktivitas ekonomi secara terus-menerus dari pedesaan ke perkotaan. Menurut Todaro (1995), kondisi ini terjadi karena dua hal, pertama, ekspansi industri perkotaan menimbulkan penciptaan lapangan pekerjaan baru.2
Kedua, kemajuan teknologi mengakibatkan industri lebih bersifat padat modal sehingga mengurangi permintaan terhadap tenaga kerja, terutama di sektor pertanian. Saran yang selalu disampaikan oleh ekonom negara maju kepada pemerintahan negara-negara berkembang adalah agar mereka berupaya untuk melakukan percepatan ekspansi industri terutama di perkotaan sehingga daerah perkotaan menjadi sentra pertumbuhan ekonomi.
Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. 3
Transformasi dalam struktur ekonomi, misalnya dapat dilihat melalui peningkatan atau pertumbungan produksi secara cepat disektor industri dan jasa, sehingga kontribusinya terhadap pendapatan nasional meningkat.
Sementara itu, Transformasi social yang sering kali disebut sebagai teori pembangunan alternative dapat dilihat melalui pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih,fasilitas rekreasi, dan partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik.
Sedangkan transformasi budaya sering dikaitkan, antara lain, dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan spiritualisme ke materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan rasional.
Dalam tulisan kali ini, penulis akan membahas pembangunan alternatif di Indonesia yang berkaitan erat dengan budaya, sosial serta pemberdayaan potensi umat di Indoensia.
Pembangunan seringkali diartikan sebagai suatu perubahan secara fisik, penambahan pendapatan dan yang selalu menjadi tolak ukur adalah tingkat pembangunan dan apakah mampu mengurangi tingka kemiskinan di Indonesia.
Saya mengangap bahwa, negara layak dikatakan berkembang jika mampu mengurangi tingkat kemiskinan rakyatnya, jadi percuma saja ketika kita melaksanakan teori pembangunan mainstream dengan percepatan pertumbunan industri dan teknologi sementera jumlah masyarakat miskin di negara ini masih tinggi.
Pembangunan mainstream yang seringkali mengacu pada pembangunan indusri ataupun teknologi seringkali mengenyampingkan hakikat pembangunan itu sendiri, pertumbunhan industri tidak selamanya mampu untuk mengurangi angka kemiskinan di Indonesia bila tidak diiringi oleh mental dan SDM masyarakat Indonesia.
Kita asumsikan Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 7 persen, misalnya, baru bisa menyerap pertumbuhan angkatan kerja sebesar 2 juta orang per tahun. Tidak mudah mencapainya selama masalah fundamental perekonomian Indonesia belum terselesaikan.4
Beberapa kalangan menggaku pesimis, seperti yang diberitakan oleh Harian Suara Merdeka, (Sabtu, 15 Agustus 2009) membahas tentang pesimisme beberapa kalangan di Indonesia terhadap target pemerintah untuk membuka tiga juta lapangan kerja per tahun. Berdasarkan RAPBN 2010, target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dicanangkan pemerintah hanya 4,3 persen. Angka ini tidak mencukupi untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.
Angka kemiskinan di Indonesia pada tahun 2011 diprediksi masih menduduki angka 27 juta jiwa 5 artinya jika pertumbunan ekonomi Indonesia sekitar 7 persen maka pengentasan kemiskinan bias diatasi pada tahun 2024 mendatang.
Sementera itu, Badan Pusat Statistik, pada tahun 2009 menyebutkan bahwa jumlah warga miskin di Indonsia mencapai 32,53 6 juta jiwa, artinya angka kemiskinan di Indonesia sangat besar.
Untuk mencapai impian pengentasan kemiskinan, pemerintah saat ini sedang rajin untuk memberikan solusi misalnya dengan mengandalkan percepatan pembangunan infrastruktur untuk mengurangi angka pengangguran karena sektor ini merupakan sektor yang padat karya.
Pemerintah boleh saja melakukan penrencanaan pembangunan diberbagai sector , namun menurut penulis pembangunan adalah perubahan jadi ada pembangunan yang menurut penulis cukup realistis untuk mengurangi angka kemiskinan di Indonesia yaitu dengan pemanfaatkan potensi zakat.
Sebenarnya apa hubungan zakat dan ekonomi—yang sebagian banyak orang memahami ekonomi itu ajaran barat yang sekuler? Pertanyaan ini dapat dengan mudah dijawab, sebab ekonomi berhubungan dengan kelangsungan hidup manusia, termasuk kegiatan amaliyah yang perlu didukung oleh harta.
Ekonomi berhubungan dengan materi, yaitu harta yang dimiliki tiap-tiap individu.
Dalam beribadah, umat muslim membutuhkan harta untuk menjalankannya. Sebagai contoh dalam keseharian, sholat yang membutuhkan pakaian yang tertutup yang telah disyariatkan Allah, begitupun juga zakat.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim mayoritas memiliki potensi zakat yang besar jika dikelola dengan profesional. Bahkan potensi itu dapat mengurangi tingkat kemiskinan penduduk Indonesia serta kelaparan secara tidak langsung.
Banyak lembaga filantropi Indonesia merilis potensi zakat Indonesia, diantaranya, Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta menyimpulkan bahwa potensi Zakat Nasional mencapai angka Rp 19,3 trilliun.
Namun penelitian terbaru dari Baznas Potensi Zakat Nasional tahun 2011 adalah Rp 217 trilliun, Jumlah ini setara dengan 3,4 % dari total Pendapatan Domestik Bruto. Potensi yang cukup besar ini terdiri dari Potensi Zakat Rumah Tangga sebesar Rp 82,7 trilliun, potensi zakat Industri swasta Rp Rp 114,89 trilliun, Potensi Zakat BUMN Rp 2,4 trilliun, Potensi Zakat dan Tabungan Rp 17 trilliun 7.
Tentunya, potensi yang sangat besar ini dapat dijadikan sebagai solusi bagi pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama kelompok masyarakat kurang mampu. Selain itu, perlu dukungan regulasi sehingga potensi ini dapat diaktualisasi.
Dengan system pengelolaan zakat yang baik, misalnya dengan pemberdayaan zakat produktif dengan pembangunan infranstruktur umum, pemberian bantuan usaha kecil bagi keluaga miskin, saya yakin bisA mengurangi anka kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi.
Zakat merupakan penopang dan tambahan meringankan beban pemerintah dalam menciptakan pemerataan dan pengurangan kemiskinan.8
Zakat menjadi tambahan pendapatan bagi para fakir miskin. Mereka dapat membeli barang-barang kebutuhan pokok sehingga meningkatkan permintaan agregat terhadap barang-barang kebutuhan pokok.
Namun sangat disayangkan, badan pengelola zakat di Indonesia belum terpadu, sehingga pengelolaan dana zakat belum maksimal. Untuk mengoptimalkan pengelolaan zakat, dibutuhkan koordinasi terpadu tidak hanya dari pemerintah, tetapi pihak swasta juga. Selain itu, pihak perbankan syariah dan LSM mempunyai daya pendekatan yang lebih pada masyarakat ketimbang perusahaan swasta lain.
Di sisi lain, para wajib zakat juga memiliki kesadaran yang rendah akan zakat yang harusnya mereka keluarkan jika sudah sampai nishab (syarat waktu zakat). Masih banyak masyarakat yang belum paham mengenai pelaksanaan zakat, hikmah dan tujuan zakat itu sendiri. Padahal menolak zakat berarti mengingkari agama.
Mungkin kita perlu melihat dan meninjau lebih dekat lagi—walaupun sudah dekat, bagaimana sistem zakat di negara tetangga, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Malaysia menetapkan sistem two-in-one, di mana jika kita sudah membayar zakat, maka tidak perlu lagi membayar pajak—jika biaya pajak sama dengan zakat yang dibayarkan. Sebagai contoh, jika biaya pajak sebesar RM 2000 dan seseorang telah membayar zakat sebesar RM 1700, maka biaya pajak yang harus dibayar adalah RM 300. 9
Sistem distribusi dan pascadistribusi di Brunei bisa diacungi jempol. Pemberian dana zakat benar-benar sesuai sasaran dan pengambilan dana dilakukan di bank yang sudah ditunjuk oleh pemerintah sebagai mitra. Setiap bulannya, tiap keluarga miskin hanya diperbolehkan mengambil dana di bank hanya 1/60, 1/48, 1/36, atau 1/12 sesuai tingkat kemiskinan kepala keluarga tersebut. Dana pengeluaran perbulan hanya digunakan untuk menutupi biaya pengeluaran makanan, minuman, biaya sehari-hari, biaya sekolah, dan biaya sewa rumah. Dengan begitu pengelolaan zakat akan lebih optimal.
Memang tidak mudah untuk mengumpulkan potensi zakat yang ada bila tidak diiringi oleh pembangunan kesadaran masyarakat Indonesia secara baik, banyak masyarakat muslim yang belum sadar akan zakat dan manfaatnya.
Tidak bisa kita pungkiri, budaya masyarakat yang lebih menyukai zakat secara langsung kepada keluarga miskin juga menghambat proses pengumpulan zakat yang ada. Masyarakat cenderung tidak percaya dengan amil zakat, sehingga fungsi unit unit pengumpul zakat tidak berfungsi secara optimal
Ini merupakan tangtangan bagi kita semua, bagaimana menumbuhkan kesadaran mayarakat untuk sadar zakat dan berzakat melalui Unit Pengumpul Zakat di setiap kelurahan ataupun kecamatan.
Kebijakan ini lebih realistis untuk dilaksanakan daripada berharap pada pembangunan infrastruktur untuk membuka 2 juta lapangan kerja per tahun dengan pertumbuhan ekonomi 7 persen pertahun, karena hal itu hanya menyelesaikan masalah pengangguran sesaat saja (JJ)
Hakikat Pembangunan adalah membangun masyarakat atau bangsa secara menyeluruh, demi mencapai kesejahteraan rakyat seperti perubahan sistem sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya 1
Portes (1976) mendefenisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Sementera itu, teori pembangunan mainstream ala negara maju selalu mengemukakan pembangunan adalah transfer manusia dan aktivitas ekonomi secara terus-menerus dari pedesaan ke perkotaan. Menurut Todaro (1995), kondisi ini terjadi karena dua hal, pertama, ekspansi industri perkotaan menimbulkan penciptaan lapangan pekerjaan baru.2
Kedua, kemajuan teknologi mengakibatkan industri lebih bersifat padat modal sehingga mengurangi permintaan terhadap tenaga kerja, terutama di sektor pertanian. Saran yang selalu disampaikan oleh ekonom negara maju kepada pemerintahan negara-negara berkembang adalah agar mereka berupaya untuk melakukan percepatan ekspansi industri terutama di perkotaan sehingga daerah perkotaan menjadi sentra pertumbuhan ekonomi.
Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. 3
Transformasi dalam struktur ekonomi, misalnya dapat dilihat melalui peningkatan atau pertumbungan produksi secara cepat disektor industri dan jasa, sehingga kontribusinya terhadap pendapatan nasional meningkat.
Sementara itu, Transformasi social yang sering kali disebut sebagai teori pembangunan alternative dapat dilihat melalui pendistribusian kemakmuran melalui pemerataan memperoleh akses terhadap sumber daya sosial-ekonomi, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih,fasilitas rekreasi, dan partisipasi dalam proses pembuatan keputusan politik.
Sedangkan transformasi budaya sering dikaitkan, antara lain, dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan nasionalisme, disamping adanya perubahan nilai dan norma yang dianut masyarakat, seperti perubahan dan spiritualisme ke materialisme/sekularisme. Pergeseran dari penilaian yang tinggi kepada penguasaan materi, dari kelembagaan tradisional menjadi organisasi modern dan rasional.
Dalam tulisan kali ini, penulis akan membahas pembangunan alternatif di Indonesia yang berkaitan erat dengan budaya, sosial serta pemberdayaan potensi umat di Indoensia.
Pembangunan seringkali diartikan sebagai suatu perubahan secara fisik, penambahan pendapatan dan yang selalu menjadi tolak ukur adalah tingkat pembangunan dan apakah mampu mengurangi tingka kemiskinan di Indonesia.
Saya mengangap bahwa, negara layak dikatakan berkembang jika mampu mengurangi tingkat kemiskinan rakyatnya, jadi percuma saja ketika kita melaksanakan teori pembangunan mainstream dengan percepatan pertumbunan industri dan teknologi sementera jumlah masyarakat miskin di negara ini masih tinggi.
Pembangunan mainstream yang seringkali mengacu pada pembangunan indusri ataupun teknologi seringkali mengenyampingkan hakikat pembangunan itu sendiri, pertumbunhan industri tidak selamanya mampu untuk mengurangi angka kemiskinan di Indonesia bila tidak diiringi oleh mental dan SDM masyarakat Indonesia.
Kita asumsikan Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 7 persen, misalnya, baru bisa menyerap pertumbuhan angkatan kerja sebesar 2 juta orang per tahun. Tidak mudah mencapainya selama masalah fundamental perekonomian Indonesia belum terselesaikan.4
Beberapa kalangan menggaku pesimis, seperti yang diberitakan oleh Harian Suara Merdeka, (Sabtu, 15 Agustus 2009) membahas tentang pesimisme beberapa kalangan di Indonesia terhadap target pemerintah untuk membuka tiga juta lapangan kerja per tahun. Berdasarkan RAPBN 2010, target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dicanangkan pemerintah hanya 4,3 persen. Angka ini tidak mencukupi untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.
Angka kemiskinan di Indonesia pada tahun 2011 diprediksi masih menduduki angka 27 juta jiwa 5 artinya jika pertumbunan ekonomi Indonesia sekitar 7 persen maka pengentasan kemiskinan bias diatasi pada tahun 2024 mendatang.
Sementera itu, Badan Pusat Statistik, pada tahun 2009 menyebutkan bahwa jumlah warga miskin di Indonsia mencapai 32,53 6 juta jiwa, artinya angka kemiskinan di Indonesia sangat besar.
Untuk mencapai impian pengentasan kemiskinan, pemerintah saat ini sedang rajin untuk memberikan solusi misalnya dengan mengandalkan percepatan pembangunan infrastruktur untuk mengurangi angka pengangguran karena sektor ini merupakan sektor yang padat karya.
Pemerintah boleh saja melakukan penrencanaan pembangunan diberbagai sector , namun menurut penulis pembangunan adalah perubahan jadi ada pembangunan yang menurut penulis cukup realistis untuk mengurangi angka kemiskinan di Indonesia yaitu dengan pemanfaatkan potensi zakat.
Sebenarnya apa hubungan zakat dan ekonomi—yang sebagian banyak orang memahami ekonomi itu ajaran barat yang sekuler? Pertanyaan ini dapat dengan mudah dijawab, sebab ekonomi berhubungan dengan kelangsungan hidup manusia, termasuk kegiatan amaliyah yang perlu didukung oleh harta.
Ekonomi berhubungan dengan materi, yaitu harta yang dimiliki tiap-tiap individu.
Dalam beribadah, umat muslim membutuhkan harta untuk menjalankannya. Sebagai contoh dalam keseharian, sholat yang membutuhkan pakaian yang tertutup yang telah disyariatkan Allah, begitupun juga zakat.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim mayoritas memiliki potensi zakat yang besar jika dikelola dengan profesional. Bahkan potensi itu dapat mengurangi tingkat kemiskinan penduduk Indonesia serta kelaparan secara tidak langsung.
Banyak lembaga filantropi Indonesia merilis potensi zakat Indonesia, diantaranya, Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta menyimpulkan bahwa potensi Zakat Nasional mencapai angka Rp 19,3 trilliun.
Namun penelitian terbaru dari Baznas Potensi Zakat Nasional tahun 2011 adalah Rp 217 trilliun, Jumlah ini setara dengan 3,4 % dari total Pendapatan Domestik Bruto. Potensi yang cukup besar ini terdiri dari Potensi Zakat Rumah Tangga sebesar Rp 82,7 trilliun, potensi zakat Industri swasta Rp Rp 114,89 trilliun, Potensi Zakat BUMN Rp 2,4 trilliun, Potensi Zakat dan Tabungan Rp 17 trilliun 7.
Tentunya, potensi yang sangat besar ini dapat dijadikan sebagai solusi bagi pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama kelompok masyarakat kurang mampu. Selain itu, perlu dukungan regulasi sehingga potensi ini dapat diaktualisasi.
Dengan system pengelolaan zakat yang baik, misalnya dengan pemberdayaan zakat produktif dengan pembangunan infranstruktur umum, pemberian bantuan usaha kecil bagi keluaga miskin, saya yakin bisA mengurangi anka kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi.
Zakat merupakan penopang dan tambahan meringankan beban pemerintah dalam menciptakan pemerataan dan pengurangan kemiskinan.8
Zakat menjadi tambahan pendapatan bagi para fakir miskin. Mereka dapat membeli barang-barang kebutuhan pokok sehingga meningkatkan permintaan agregat terhadap barang-barang kebutuhan pokok.
Namun sangat disayangkan, badan pengelola zakat di Indonesia belum terpadu, sehingga pengelolaan dana zakat belum maksimal. Untuk mengoptimalkan pengelolaan zakat, dibutuhkan koordinasi terpadu tidak hanya dari pemerintah, tetapi pihak swasta juga. Selain itu, pihak perbankan syariah dan LSM mempunyai daya pendekatan yang lebih pada masyarakat ketimbang perusahaan swasta lain.
Di sisi lain, para wajib zakat juga memiliki kesadaran yang rendah akan zakat yang harusnya mereka keluarkan jika sudah sampai nishab (syarat waktu zakat). Masih banyak masyarakat yang belum paham mengenai pelaksanaan zakat, hikmah dan tujuan zakat itu sendiri. Padahal menolak zakat berarti mengingkari agama.
Mungkin kita perlu melihat dan meninjau lebih dekat lagi—walaupun sudah dekat, bagaimana sistem zakat di negara tetangga, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Malaysia menetapkan sistem two-in-one, di mana jika kita sudah membayar zakat, maka tidak perlu lagi membayar pajak—jika biaya pajak sama dengan zakat yang dibayarkan. Sebagai contoh, jika biaya pajak sebesar RM 2000 dan seseorang telah membayar zakat sebesar RM 1700, maka biaya pajak yang harus dibayar adalah RM 300. 9
Sistem distribusi dan pascadistribusi di Brunei bisa diacungi jempol. Pemberian dana zakat benar-benar sesuai sasaran dan pengambilan dana dilakukan di bank yang sudah ditunjuk oleh pemerintah sebagai mitra. Setiap bulannya, tiap keluarga miskin hanya diperbolehkan mengambil dana di bank hanya 1/60, 1/48, 1/36, atau 1/12 sesuai tingkat kemiskinan kepala keluarga tersebut. Dana pengeluaran perbulan hanya digunakan untuk menutupi biaya pengeluaran makanan, minuman, biaya sehari-hari, biaya sekolah, dan biaya sewa rumah. Dengan begitu pengelolaan zakat akan lebih optimal.
Memang tidak mudah untuk mengumpulkan potensi zakat yang ada bila tidak diiringi oleh pembangunan kesadaran masyarakat Indonesia secara baik, banyak masyarakat muslim yang belum sadar akan zakat dan manfaatnya.
Tidak bisa kita pungkiri, budaya masyarakat yang lebih menyukai zakat secara langsung kepada keluarga miskin juga menghambat proses pengumpulan zakat yang ada. Masyarakat cenderung tidak percaya dengan amil zakat, sehingga fungsi unit unit pengumpul zakat tidak berfungsi secara optimal
Ini merupakan tangtangan bagi kita semua, bagaimana menumbuhkan kesadaran mayarakat untuk sadar zakat dan berzakat melalui Unit Pengumpul Zakat di setiap kelurahan ataupun kecamatan.
Kebijakan ini lebih realistis untuk dilaksanakan daripada berharap pada pembangunan infrastruktur untuk membuka 2 juta lapangan kerja per tahun dengan pertumbuhan ekonomi 7 persen pertahun, karena hal itu hanya menyelesaikan masalah pengangguran sesaat saja (JJ)